Wednesday 13 August 2008

Langkah kongkrit mewujudkan mimpi menjadi negara pengekspor beras

Konglomerat dunia asal Arab Saudi, Saudi Binladin Group, akan menanamkan modal sebesar US$ 4,3 miliar atau Rp 39 triliun di Indonesia. Dana sebesar itu akan dipakai untuk menggarap proyek bisnis agroindustri, termasuk penanaman padi seluas 500 ribu hektare di Merauke, Papua.
Menurut Abu Bakr al-Hamid, Direktur Pelaksana Saudi Binladin Group, Indonesia menjadi pilihan karena memiliki potensi yang bagus. Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah, Alwi Shihab, menjelaskan, grup bisnis tersohor di dunia itu dipercaya oleh pemerintah Arab Saudi untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pertimbangannya, kelompok bisnis ini cukup dekat dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Sesungguhnya, menurut dia, investor yang tertarik menanamkan duit di bumi Papua tidak hanya dari Arab Saudi, tapi ada juga pemodal dari negeri yang sedang ketiban rezeki lonjakan harga minyak lainnya, seperti Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
Rencananya Binladin akan menerapkan konsep bisnis agroindustri dari penanaman hingga pemasaran. Komoditas utama yang bakal dikembangkan adalah padi, khususnya padi jenis basmati, yang biasa dipasarkan untuk kebutuhan Saudi.
Sebelum bertandang ke tempat Menteri Pertanian, para eksekutif Saudi Binladin Group yang dipimpin oleh Hassan bin Ladin ini bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hassan, salah satu dari 52 anak pendiri Binladin Group, adalah Vice President Saudi Binladin Group. Kedatangan Hassan adalah tindak lanjut dari undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Dubai pada Maret lalu. Menurut Menteri Anton Apriyantono, pemerintah akan membentuk tim khusus guna membicarakan teknik lebih detail terkait dengan investasi dana Timur Tengah ini. Misalnya untuk infrastruktur utama, seperti jalan raya dan waduk irigasi, pemerintah Indonesia yang akan membangunnya. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah akan bekerja sama dengan swasta. "Masih akan dibicarakan." Kehadiran investor asing berkantong tebal ini, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimuso, memungkinkan kerja sama dengan investor nasional.
Saat ini sudah ada lima perusahaan dalam negeri yang menanamkan modal mereka di Merauke terkait dengan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yakni kawasan energi dan pangan terpadu Merauke. Perusahaan itu adalah PT Sumber Alam Sutera, PT Wolo Agro Lestari, PT Comexindo, PT Medco, dan PT Bangun Cipta Sarana.Proyek MIFEE merupakan program alternatif pemerintah untuk mengatasi kekurangan pangan dan energi di Papua. Pada tahap awal, proyek ini akan dibangun pada lahan seluas 1,4 juta hektare. Namun, potensi lahan pertanian yang bisa dimanfaatkan sebesar 2,4 juta hektare.Jika proyek Binladin terwujud, menurut Sutarto, pemerintah perlu mengatur kuota berapa banyak produksi beras yang bisa diekspor dan untuk konsumsi dalam negeri. Sebab, sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur soal ini. "Kalau memang dalam negeri sudah cukup, boleh diekspor," katanya

Tuesday 5 August 2008

Presiden SBY di BB Padi: Suatu Saat Indonesia Menjadi Lumbung Padi Dunia.

Itulah mimpi negeri kita, sebagaimana disampaikan oleh para petingginya, ketika menghadapi produksi di dalam negeri yang berlimpah. Ada yang menyebutnya sebagai mimpi di siang bolong, mengingat ketahanan pangan kita selama ini masih jauh dari batas aman.

Tetapi satu hal yang harus dicatat, impian adalah sebuah keinginan yang hendak diraih. Kelak terwujud atau tidak, tentu ada banyak faktor yang menjadi syarat maupun prasyaratnya. Indonesia pernah meraih penghargaan sebagai negara swasembada pangan dan mengekspor surplus produksi beras dalam negeri, rasanya tidak ada salahnya kita punya mimpi kembali ke masa itu.

Apakah Indonesia mampu jadi eksportir beras ? Salah satu syarat mutlak untuk membuka kran ekspor beras ke luar negeri, adalah angka stok beras nasional mencapai 3 juta ton. Dalam perjalanan waktu sejak reformasi, angka stok nasional ini belum pernah tercapai.

Surplus beras saat ini tidak dihasilkan melalui mekanisme produksi yang baku sehingga kita tidak bisa menjaga stabilitas hasil sepanjang tahun. Jika pemerintah ingin melibatkan swasta ikut berkontribusi bagi peningkatan produksi beras nasional, sebaiknya pemerintah memberi ijin dan melibatkan swasta membuka lahan di luar Pulau Jawa secara besar-besaran. Seperti di Merauke yang luasnya sekitar 580 ribu ha atau dua kali luas jalur pantura Jawa Barat.

Artinya, tidak salah kita bermimpi menjadi negara pengekspor beras. Tetapi semua itu harus didasarkan pada kondisi realistis kebutuhan kita mengingat beras adalah komoditi strategis yang tidak bisa diperlakukan sama dengan komoditi perdagangan lain. Terlalu riskan hanya bersandar pada angka stok nasional karena begitu kita membuka kran ekspor dan kemudian kita defisit produksi, maka suka atau tidak suka kita harus mengikuti harga internasional melalui impor. Siapkah kita untuk meghadapi risiko semacam itu?