BB Padi Sukamandi
Tanggal dimuat: 13 Agustus 2007Salah satu prestasi Indonesia di masa lalu yang patut dibanggakan dan masih terus menjadi inspirasi bagi masa kini adalah tercapainya swasembada pangan dua dekade silam. Dari negeri pengimpor beras terbesar di dunia pada awal 1970an, Indonesia menjadi negeri yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri pada pertengahan1980an.
Pada akhir 1960an, Paul Ehrlich, lewat bukunya yang terkenal, The Population Bomb (1968), meramalkan bahwa bencana Malthussian akan meledak lagi di dunia ketiga, termasuk di Indonesia, karena penduduk yang meningkat pesat tanpa diiringi peningkatan produksi pertanian yang memadai. Menurutnya, sebagaimana yang telah terjadi berkali-kali dalam sejarah, jutaan penduduk akan terkapar.
Di Indonesia, sebagian dari ramalan tersebut memang terjadi. Jumlah penduduk meningkat relatif pesat, dari 100 juta jiwa di akhir 1960an menjadi sekitar 150 juta jiwa pada pertengahan 1980an. Namun bencana Malthussian tidak terjadi. Malah sebaliknya, kesejahteraan petani justru meningkat dan produktifitas pertanian kita bertambah berlipat kali, dari 12.2 juta ton beras pada 1969 menjadi 25 juta ton beras pada 1984.
Peningkatan produktifitas itulah yang menjadi kunci bagi tercapainya swasembada pangan. Ia adalah sebuah cerita sukses revolusi hijau, yang menjadi instrumen penting dalam memerangi kelaparan, menurunkan tingkat kemiskinan, dan memenuhi kebutuhan kalori jutaan rakyat. Prestasi yang membanggakan ini tidak luput dari perhatian dunia, seperti dengan diberikannya penghargaan kepada pemerintah Indonesia oleh sebuah lembaga yang bernaung di bawah PBB, yaitu FAO (Food and Agriculture Organization), pada Juli 1986.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi (BB Padi) adalah lembaga penelitian dan penerapan teknologi yang terdepan dan menjadi tulang punggung pencapaian swasembada pangan tersebut. Dengan dedikasi, kreatifitas dan semangat pengabdian yang tinggi, ilmuwan, peneliti dan insinyur-insinyur di lembaga yang bernaung di Departemen Pertanian ini menemukan dan mengembangkan berbagai varietas padi unggul yang tahan hama, responsif terhadap aplikasi pupuk modern, dengan bulir-bulir padi yang lebih banyak dan lebih gemuk, serta dengan rasa yang lebih enak. Metode dan teknik baru yang mereka gunakan diinspirasikan oleh Norman Borlaug, pemenang Nobel Perdamaian 1970 serta peletak dasar revolusi hijau yang berhasil mengembangkan varietas unggul baru tanaman gandum di Sonora, Mexico, setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Sejak awal 1970an, bekerja sama dengan International Rice Research Institute (IRRI) yang berpusat di Los Banos, Filipina, BB Padi mulai menyebarkan varietas baru yang digunakan secara luas oleh para petani, seperti IR 36 dan Cisadane. Jika varietas-varietas sebelumnya hanya menghasilkan 1-2 ton/Ha, kedua varietas unggulan ini mampu menghasilkan sekitar 3-4 ton/Ha. Peningkatan inilah, yang diiringi dengan keberhasilan lainnya dalam distribusi pupuk, mekanisasi, perluasan irigasi dan penyediaan kredit ke petani, yang menjadi kunci sukses dibalik pencapaian swasembada pangan di pertengahan 1980an.
Setelah era swasembada pangan, BB Padi masih terus memperkenalkan varietas baru yang lebih baik. Di antaranya adalah IR 64 dan Ciherang. Kedua varietas ini mampu menghasilkan 5-8 ton gabah/Ha, dengan daya tahan yang lebih tinggi terhadap hama. Dan varietas inilah yang paling populer di kalangan petani kita hingga kini.
Bukan hal yang mudah untuk memuliakan dan menemukan sebuah varietas unggulan baru. Terkadang dibutuhkan waktu yang lama, paling cepat sekitar 7 tahun, untuk melakukannya—sebuah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, ketekunan, keahlian dan dedikasi yang tinggi. Belum lagi jika semua itu harus dilakukan dengan dana yang terbatas, di ruang penelitian yang jauh dari perhatian khalayak ramai.
Di masa depan, tantangan yang kita hadapi tidak akan menjadi lebih ringan. Penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai jumlah 300 juta jiwa sekitar tahun 2040-2050. Bukanlah hal yang mudah untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk sebanyak itu, apalagi saat ini luas areal sawah semakin menciut dan proporsi jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani terus menurun.
Dua dekade yang lalu, keberhasilan BB Padi membuktikan bahwa aplikasi ilmu pengetahuan modern yang tepat dapat membantu mengatasi persoalan-persoalan besar yang kita hadapi. Ia juga membuktikan bahwa dengan kreatifitas dan dedikasi yang tinggi, kita dapat menghadapi tantangan seberat apapun. Hal ini seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua: hanya dengan cara dan dedikasi seperti itulah Indonesia dapat melangkah ke masa depan yang lebih baik.
Atas alasan-alasan tersebut, Penghargaan Achmad Bakrie di bidang Teknologi diberikan kepada BB Padi. •
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) berlokasi di Sukamandi, Subang, Jawa Barat, sekitar 26 km di timur Cikampek. Lembaga ini berada di bawah Departemen Pertanian dan dipimpin oleh seorang Kepala Badan, dengan total pegawai saat ini berjumlah 339 orang, 19 diantaranya dengan tingkat pendidikan S3 (doktor), 28 S2, dan 49 S1. Dengan lahan percobaan seluas 300 Ha, BB Padi memiliki fasilitas penelitian dan pemuliaan tanaman padi konvensional yang terlengkap di Indonesia. Sejarah lembaga ini berawal pada tahun 1972, saat pemerintah membentuk sebuah lembaga penelitian pertanian, LP3 (Lembaga Pusat Penelitian Pertanian) Cabang Sukamandi. Sebenarnya, inisiatif pendirian lembaga semacam ini sudah muncul jauh hari sebelumnya, di zaman pemerintahan Bung Karno. Pada awal 1960an, Ford Foundation dan Rockefeller Foundatian—dua lembaga donor swasta terbesar di Amerika Serikat—mengusulkan agar IRRI (International Rice Research Institution) didirikan di Indonesia, persis di kawasan yang sekarang menjadi tempat BB Padi. Kedua institusi inilah yang mendanai dan mendukung penelitian dan lembaga Norman Borlaug di Sonora, Mexico, yang kemudian sukses mengawali era revolusi hijau. Ahli-ahli pertanian yang tergabung dalam Ford dan Rockefeller Foundation berpikir bahwa Asia juga memerlukan sebuah lembaga semacam itu, dan memilih Indonesia sebagai tempat untuk memulainya.
Sayangnya, waktu itu Bung Karno sedang menggelorakan semangat anti-asing, khususnya anti-Barat. Ford dan Rockefeller Foundation kemudian memilih Filipina, dan mendirikan IRRI di Los Banos. Lembaga penelitian inilah yang kemudian merintis penemuan varietas-varietas padi baru yang kemudian diadopsi di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.
Keberhasilan IRRI kemudian memberikan inspirasi bagi Indonesia, setelah berlalunya era Bung Karno, dengan mengembangkan lembaga penelitian dan metode pengembangan varietas sebagaimana yang telah dicoba di Sonora, Mexico, dan Los Banos, Filipina.
Hal itulah yang menjadi latar belakang berdirinya LP3 Cabang Sukamandi. Dibutuhkan sekitar 8 tahun untuk membangun dan melengkapi semua kebutuhan fisik (kantor, laboratorium, lahan percobaan) dan organisasional (staf) sebelum akhirnya lembaga ini diresmikan oleh Presiden Suharto, 10 Agustus 1980.
Dengan peresmian ini, LP3 berganti nama menjadi Balittan Sukamandi (Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi). Pada tahun 1994 nama ini berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), seiring dengan perubahan fungsi lembaga ini yang hanya mengkhususkan diri pada penelitian tanaman padi, bukan lagi tanaman pangan secara keseluruhan. Pada 1 Maret 2006, lembaga ini berubah lagi menjadi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, atau lebih dikenal dengan sebutan pendek BB Padi. Perubahan dari Balai Penelitian ke Balai Besar Penelitian berdampak pada kenaikan status lembaga ini, dari eselon IIIa menjadi IIa, dengan wewenang dan posisi yang lebih kuat. •