Friday 21 December 2007

Visit Openair Museum


Winters of yesteryear'

In our day we used to have real winters'. Your grandparents could spend many an hour talking about it. The wind was piercing cold and there were thick coverings of snow, food was scarce and the nights pitch black, but we did also get time off school to go ice skating! Streetlamps light up the darkness and in no time at all you can make your house nice and warm. Vests and hot water bottles have been consigned to the attic, or are now objects to admire at the Open Air Museum. At the Open Air Museum the winters of the past are being brought back to life. Fun on the ice!It wouldn’t be winter without enjoying some fun on the ice and we will therefore be transforming the large entrance square into a festively lit ice rink. Young and old alike can enjoy skating, and refreshments will be available in the convivial atmosphere around the ice. The ups and downs of winterIt’s nice and cosy beside the fire; the farmer's wife tells stories as her spinning wheel turns. In the side room the sound of a loom can be heard. Life is not easy. Supplies are dwindling and there is a sharp frost on the way. You must have a taste!In a 19th century half-timbered barn from Limburg the farmer is stirring the contents of a large copper pot. He is making syrup from the plentiful harvest of apples and pears - and naturally he will let you have a taste! As of this winter, the authentic brewery from Ulvenhout will also once again be fully operational. No less a person than the Dutch champion himself will be brewing the beer in a contemporary way and will talk passionately about his wonderful old craft! All kinds of things to doEvery weekend, on Wednesday afternoons and during the Christmas holidays fun activities are being held, and you can enjoy music and song in the cosy Zeeland church. There will be plenty to see and experience on the Zaan Square and children will have the chance to bake bread rolls at the children’s activity farmyard. The animals in the barn will also be very pleased to see visitors.

Sunday 9 December 2007

Visit Tropenmuseum


The Tropenmuseum is one of Europe’s leading ethnographic museums, renowned for its collection. The permanent and temporary exhibitions display (art) objects, photographs, music and film from non-western cultures.
The beautiful and historic building in which the Tropenmuseum is housed provides space for eight permanent exhibitions and an ongoing series of temporary exhibitions, including both modern and traditional visual arts and photographic work. The permanent exhibitions are Southeast Asia, Oceania, Western Asia and North Africa, Africa, Latin America, Man and Environment and Music, Dance and Theater.
The reconstruction of local environments and attractive displays of exhibits drawn from the museum's huge collections draw visitors right into the daily lives of the people of the tropics and subtropics. Exhibitions are increasingly seen as an opportunity to organize supplementary activities such as lectures, films, guided tours, music- and theatre shows, often in collaboration with other Institute departments. For some years now, the museum has been designing its exhibitions with a broad approach to both content and concept. The perspectives of different generations and different ethnic groups are represented in the exhibitions and activities. Leading public figures from the multicultural communities in the Netherlands assist in shaping and defining the museum.
Being part of the Royal Tropical Institute (KIT), the museum is more than just a museum. Experts assist museums around the world in capacity building and other activities, for example in collecting and preserving local cultural heritage. Other activities include innovative initiatives in the field of museums and of preserving and exhibiting cultural heritage. Building on earlier work by the Getty Information Institute, the museum has started a project in fourteen developing countries aimed at cataloguing and describing museum collections using a computer programme. The Tropenmuseum is part of the Royal Tropical Institute (KIT), a knowledge institute for international and intercultural collaboration. In view of its historic roots as a colonial institute and museum and given its expertise in the field of culture, cultural preservation and exchange is one of KIT’s key tasks, both domestically and internationally. The Institute carries out cultural programmes across the world, aimed at protecting cultural heritage and enhancing cultural exchange. These programmes focus on institutional and capacity building, and on advice with regard to cultural policy. In the Netherlands, the emphasis lies on contributing to the knowledge and understanding of different cultures, and on increasing public support for international and development cooperation.

Friday 30 November 2007

SRI Next Seminar

Saya sudah mendapat kepastian tentang rencana seminar mengenai "System of Rice Intensification" (SRI) yang akan di adakan di Kampus IPB Dramaga hari Rabu tanggal 16 Januari 2008 pk 13:00 -17:00 dengan acara (tentatif) sebagai berikut:(1). Pembukaan (diusahakan oleh Rektor IPB/Dekan Fakultas Pertanian IPB); 2) Lecture on SRI in the World by Prof. Dr Norman Uphoff (Cornell University, Itaccha, USA)- Question and Answer; (3) Lecture on SRI in Indonesia by Mr. Shuichi Sato and/or Ir.Budiharto, - Question and Answer; (4) Lecture on Organic SRI in Indonesia by Mr.Alik; (5) Summary on Lecture by Prof. Dr. Iswandi Anas.Participants antara lain adalah staff IPB, mahasiswa S1, S2 dan S3, Lembaga Penelitian dari Lingkup Deptan, dari Ditjen Tanaman Pangan Deptan Pasar Minggu,Pemda Bogor dan sekitarnya serta umum. Seminar will be free of charge!

Monday 26 November 2007

Cianjur, Jawa Barat, Senin, 30 Juli 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PANEN RAYA PADI SRI ORGANIK CIANJUR
Acara ini dihadiri oleh:Menteri Pertanian dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, hadir Pimpinan BULOG, Pimpinan Bank Rakyat Indonesia dan pejabat yang lain, Yang saya hormati Saudara Gubernur Jawa Barat, Saudara Bupati Cianjur, dan para Pejabat Negara dan Pemerintahan yang bertugas di Jawa Barat, baik dari unsur Eksekutif, Legislatif, Yudikatif maupun TNI dan Polri, Saudara Gubernur Kalimantan Tengah dan para Pejabat Pemerintahan yang berasal dari Provinsi lain, Bapak Solihin GP, Pimpinan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Teater Sunda, Saudara Pimpinan MEDCO Foundation, Pak Arifin Panigoro, dan Saudara Pimpinan Yayasan Aliksa Organik SRI.
Saya sangat senang mendengar apa yang disampaikan oleh Bapak Solihin GP tadi dan juga Pak Gubernur dan Saudara Menteri Pertanian karena semuanya itu sungguh melegakan, bagaimana kita membangun pertanian di negeri ini secara baik, bagaimana kita bisa meningkatkan kecukupan dan ketahanan pangan juga secara baik, yang tentunya sangat diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tadi ketika saya panen bersama dengan saudara-saudara petani kita, saya senang dengan dua spanduk yang ada di belakang kita, di sawah tadi yang berbunyi, “SRI datang membawa peluang, persembahan anak negeri untuk pangan dan alam lestari”. Kemudian juga satunya lagi ada spanduk yang berbunyi, “Padi jiwa negeri dan darah bangsaku”, bagus. Saya menyambut baik, saya mendukung penuh berbagai inisiatif kegiatan sebagaimana yang dilakukan oleh tadi, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Teater Sunda, MEDCO Foundation, Yayasan Aliksa Organik SRI dan semua pihak yang benar-benar ingin membangun pertanian kita yang baik, pertanian yang berkelanjutan, pertanian yang ramah lingkungan dan tentunya makin mendatangkan keuntungan bagi para petani dan rakyat kita. Tadi saya dijelaskan dipanel sana satu per satu tentang teknologi, tentang cara-cara bercocok tanam padi menggunakan metode SRI, System of Rice Intensification. Sebetulnya namanya lebih dari itu, karena setelah saya pelajari tadi, saya lihat, saya saksikan bukan hanya System of Rice Intensification, tapi boleh ditambahkan meskipun tidak usah ditulis System of Enviromentaly Friendly Rice Intensification, sistem intensifikasi padi atau beras yang ramah lingkungan. Banyak cara untuk meningkatkan produktivitas padi naik begitu, tapi ternyata intervensi pupuk kimia yang berlebihan. Akibatnya peningkatkan produktivitas makin banyak panennya, tapi lingkungannya jebol. Tahun ini masih aman, tahun depan rusak, tahun depannya lagi lebih rusak lagi. SRI ini menurut saya dua-duanya terpenuhi karena kita ingin produksinya naik, lingkungannya aman. Saya pernah belajar di IPB selama 3 tahun. Ini juga banyak di IPB. Saya pernah diundang di Padang, Universitas Andalas untuk menyampaikan semacam orasilah begitu. Saya sampaikan pembangunan pertanian di Indonesia harus bergeser dari yang dulu kita kenal revolusi hijau, green revolution, ini Pak Anton tahu persis, memang meningkat luar biasa produksi pangan sedunia, tetapi ternyata muncul kerusakan-kerusakan setelah itu. Harus kita ganti dengan pembangunan pertanian yang sekali lagi ramah lingkungan yang berkelanjutan, sustainable agricultural development.Jadi green revolution harus yang baik-baik boleh kita pertahankan, tetapi yang tidak sesuai kita ganti dengan yang ramah lingkungan. Menurut saya, SRI inilah contoh nyata pembangunan pertanian berkelanjutan sebagai koreksi dari green revolution, pembangunan hijau yang dulu banyak menggunakan pupuk-pupuk kimia dan cara-cara yang ternyata bisa mengganggu lingkungan, terutama untuk jangka panjang. Dan disamping secara umum metode SRI ini solusi, sebagai bagian dari solusi bukan masalah dan juga menciptakan peluang yang baik dalam pembangunan pertanian untuk Indonesia juga sangat cocok.Saudara-saudara,Jangan dikira air yang ada di Pulau Jawa masih melimpah ruah. Pulau Jawa ini dari segi air sudah lampu kuning, tidak boleh kita boros-boroskan, dihambur-hamburkan, lalai, tidak pandai. Pada saat harusnya kita tahan di hutan-hutan, hutannya gundul. Pada saat airnya banyak, jadi banjir, merusak, yang ada hanya merugi saja. Oleh karena itu, karena air ini harus sangat dihemat di pulau jawa khususnya, meskipun di tempat lain juga tidak berarti tidak ada masalah, maka pertanian pun yang mengkonsumsi air dari irigasi itu harus sehemat mungkin. Ternyata SRI telah memberikan solusi cara bercocok tanam, cara menanam padi yang tidak banyak menggunakan air dengan hasil yang paling tidak sama, bahkan lebih besar dari yang terlalu banyak menggunakan air. Ini contoh konkret dari metode SRI ini. Solusi yang kedua mengapa SRI penting? Cara bercocok tanam yang terlalu banyak menggunakan pupuk kimia disamping secara lingkungan tidak baik, mungkin juga kalau salah, kalau berlebihan mencemari produk-produk pertanian itu. Tapi saudara juga harus tahu bahwa pupuk kimia itu harganya juga tidak murah. Dan kemudian kebutuhan untuk pupuk kimia kalau diikuti terus akan besar sekali. Pupuk itu, bahannya dari gas, antara lain. Gas itu juga suatu saat akan habis. Oleh karena itu, kita harus berhemat gas. Minyak kita kalau tidak ditemukan yang baru tinggal 20 tahun lagi. Gas kita kalau tidak diketemukan yang baru tinggal 60 tahun lagi. Batu bara kita kalau diboros-boroskan 150 tahun lagi habis. Oleh karena itu wajib hukumnya bagi bangsa Indonesia, bagi kita semua menghemat semuanya, termasuk menghemat gas. Supaya gasnya tidak habis, tidak terlalu banyak untuk pupuk, maka pupuk kimianya dikurangi, diganti dengan pupuk organik
Hadirin sekalian,Kembali ke masalah SRI, saya dukung penuh dan saya minta para Menteri apalagi Menteri Pertanian tentu akan mendukung penuh. Mari kita kembangkan SRI ini seluas-luasnya. Mengapa? Tadi cerita pangan kita harus kita naikkan. Tahun ini kita harus tambah dua juta ton. Ini para Gubernur, Bupati, Walikota harus berjuang habis-habisan. Nanti yang tidak serius kita kasih kartu merah nanti. Bukan hanya kartu kuning tadi malam Irak melawan Saudi Arabia. Kalau saya tidak peduli, tidak mau bekerja, tidak mau apa-apa terus rakyatnya menderita ya kartu merah begitu, kan begitu? Setujukan? Karena kalau pangan kita kurang, harganya bergejolak, kasihan semuanya. Harganya harus pas, harga melindungi petani, tapi juga bisa dibeli oleh saudara-saudara kita yang lain. Begitu cara kita memproduksi dan menetukan harga.Sekali lagi mengapa saya dukung SRI dan mari kita kembangkan seluas-luasnya karena produktivitas naik tanpa merusak lingkungan. Itu kuncinya. Jadi Saudara bertanggung jawab kepada anak cucu kita, kepada generasi mendatang, jangan dihabis-habiskan yang ada di tempat kita ini tanpa memikirkan nasib mereka. Dan kalau solusinya itu kembali ke alam, beliau mengatakan back to basic atau back to nature kembalikan pada hukum alam, kembalikan pada dasarnya, itu sudah benar. Karena Allah SWT menciptakan alam semesta dengan segala kehidupannya, itu sudah dipikirkan ada satu ekosistem, satu siklus kehidupan yang bisa mengatasi masalah-masalah itu dengan akal pikiran manusia, dengan jiwanya, dengan karakternya, dengan tanggung jawabnya. Jadi kalau kita kembalikan apa yang ada di alam semesta ini, musti benar. Oleh karena itu, para peneliti, para sarjana, semua yang ada dalam keluarga besar SRI ini, tolong didayagunakan penuh MEDCO Foundation dan Yayasan Aliksa juga berkontribusi penuh agar semuanya bisa berjalan dengan baik.

PENGHARGAAN ACHMAD BAKRIE

BB Padi Sukamandi
Tanggal dimuat: 13 Agustus 2007Salah satu prestasi Indonesia di masa lalu yang patut dibanggakan dan masih terus menjadi inspirasi bagi masa kini adalah terca­painya swasembada pangan dua dekade silam. Dari negeri pengimpor beras terbesar di dunia pada awal 1970an, Indonesia menjadi negeri yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri pada perte­ngahan1980an.
Pada akhir 1960an, Paul Ehrlich, lewat bukunya yang terkenal, The Population Bomb (1968), meramalkan bahwa bencana Malthussian akan meledak lagi di dunia ketiga, termasuk di Indonesia, karena penduduk yang meningkat pesat tanpa diiringi peningkatan produksi pertanian yang memadai. Menurutnya, sebagaimana yang telah terjadi berkali-kali dalam sejarah, jutaan penduduk akan terkapar.
Di Indonesia, sebagian dari ramalan tersebut memang terjadi. Jumlah penduduk meningkat relatif pesat, dari 100 juta jiwa di akhir 1960an menjadi sekitar 150 juta jiwa pada pertengahan 1980an. Namun bencana Malthussian tidak terjadi. Malah sebaliknya, kesejah­teraan petani justru meningkat dan produktifitas pertanian kita bertambah berlipat kali, dari 12.2 juta ton beras pada 1969 menjadi 25 juta ton beras pada 1984.
Peningkatan produktifitas itulah yang menjadi kunci bagi tercapai­nya swasembada pangan. Ia adalah sebuah cerita sukses revolusi hijau, yang menjadi instrumen penting dalam memerangi kelaparan, menu­runkan tingkat kemiskinan, dan memenuhi kebutuhan kalori jutaan rakyat. Prestasi yang membanggakan ini tidak luput dari perhatian dunia, seperti dengan diberikannya penghargaan kepada pemerintah Indonesia oleh sebuah lembaga yang bernaung di bawah PBB, yaitu FAO (Food and Agriculture Organization), pada Juli 1986.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi (BB Padi) adalah lembaga penelitian dan penerapan teknologi yang terdepan dan menjadi tulang punggung pencapaian swasembada pangan tersebut. Dengan dedikasi, kreatifitas dan semangat pengabdian yang tinggi, ilmu­wan, peneliti dan insinyur-insinyur di lembaga yang bernaung di Departe­men Pertanian ini menemukan dan mengembangkan berbagai varietas padi unggul yang tahan hama, responsif terhadap aplikasi pupuk modern, dengan bulir-bulir padi yang lebih banyak dan lebih gemuk, serta dengan rasa yang lebih enak. Metode dan teknik baru yang mereka gunakan diinspirasikan oleh Norman Borlaug, pemenang Nobel Perdamaian 1970 serta peletak dasar revolusi hijau yang berhasil mengem­bangkan varietas unggul baru tanaman gandum di Sonora, Mexico, setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Sejak awal 1970an, bekerja sama dengan International Rice Re­search Institute (IRRI) yang berpusat di Los Banos, Filipina, BB Padi mulai menyebarkan varietas baru yang digunakan secara luas oleh para petani, seperti IR 36 dan Cisadane. Jika varie­tas-varietas sebelumnya hanya menghasilkan 1-2 ton/Ha, kedua varietas unggulan ini mampu menghasilkan sekitar 3-4 ton/Ha. Peningkatan inilah, yang diiringi dengan keberhasilan lainnya dalam distribusi pupuk, mekanisasi, perluasan irigasi dan penyediaan kredit ke petani, yang menjadi kunci sukses dibalik pencapaian swasembada pangan di pertengahan 1980an.
Setelah era swasembada pangan, BB Padi masih terus memperke­nalkan varietas baru yang lebih baik. Di antaranya adalah IR 64 dan Ciherang. Kedua varietas ini mampu menghasilkan 5-8 ton gabah/Ha, dengan daya tahan yang lebih tinggi terhadap hama. Dan varietas inilah yang paling populer di kalangan petani kita hingga kini.
Bukan hal yang mudah untuk memuliakan dan menemukan sebuah varietas unggulan baru. Terkadang dibutuhkan waktu yang lama, paling cepat sekitar 7 tahun, untuk melakukannya—sebuah peker­jaan yang membutuhkan ketelitian, ketekunan, keahlian dan dedikasi yang tinggi. Belum lagi jika semua itu harus dilakukan dengan dana yang terbatas, di ruang penelitian yang jauh dari perhatian khala­yak ramai.
Di masa depan, tantangan yang kita hadapi tidak akan menjadi lebih ringan. Penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai jumlah 300 juta jiwa sekitar tahun 2040-2050. Bukanlah hal yang mudah untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk sebanyak itu, apalagi saat ini luas areal sawah semakin menciut dan proporsi jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani terus menurun.
Dua dekade yang lalu, keberhasilan BB Padi membuktikan bahwa aplikasi ilmu pengetahuan modern yang tepat dapat membantu meng­atasi persoalan-persoalan besar yang kita hadapi. Ia juga membuktikan bahwa dengan kreatifitas dan dedikasi yang tinggi, kita dapat meng­hadapi tantangan seberat apapun. Hal ini seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua: hanya dengan cara dan dedikasi seperti itulah Indo­nesia dapat melangkah ke masa depan yang lebih baik.
Atas alasan-alasan tersebut, Penghargaan Achmad Bakrie di bidang Teknologi diberikan kepada BB Padi. •
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) berlokasi di Sukamandi, Subang, Jawa Barat, sekitar 26 km di timur Cikampek. Lembaga ini berada di bawah Departemen Pertanian dan dipimpin oleh seorang Kepala Badan, dengan total pegawai saat ini berjumlah 339 orang, 19 diantaranya dengan tingkat pendidikan S3 (doktor), 28 S2, dan 49 S1. Dengan lahan percobaan seluas 300 Ha, BB Padi memi­liki fasilitas penelitian dan pemuliaan tanaman padi konvensional yang terlengkap di Indonesia. Sejarah lembaga ini berawal pada tahun 1972, saat pemerintah mem­bentuk sebuah lembaga penelitian pertanian, LP3 (Lembaga Pusat Penelitian Pertanian) Cabang Sukamandi. Sebenarnya, inisiatif pen­dirian lembaga semacam ini sudah muncul jauh hari sebelumnya, di zaman pemerintahan Bung Karno. Pada awal 1960an, Ford Foun­dation dan Rockefeller Foundatian—dua lembaga donor swasta terbesar di Amerika Serikat—mengusulkan agar IRRI (International Rice Research Institution) didirikan di Indonesia, persis di kawasan yang sekarang menjadi tempat BB Padi. Kedua institusi inilah yang mendanai dan mendukung penelitian dan lembaga Norman Borlaug di Sonora, Mexico, yang kemudian sukses mengawali era revolusi hijau. Ahli-ahli pertanian yang tergabung dalam Ford dan Rockefeller Foun­dation berpikir bahwa Asia juga memerlukan sebuah lembaga sema­cam itu, dan memilih Indonesia sebagai tempat untuk memulainya.
Sayangnya, waktu itu Bung Karno sedang menggelorakan semangat anti-asing, khususnya anti-Barat. Ford dan Rockefeller Foundation kemudian memilih Filipina, dan mendirikan IRRI di Los Banos. Lembaga penelitian inilah yang kemudian merintis penemuan varietas-varietas padi baru yang kemudian diadopsi di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.
Keberhasilan IRRI kemudian memberikan inspirasi bagi Indonesia, setelah berlalunya era Bung Karno, dengan mengembangkan lembaga penelitian dan metode pengembangan varietas sebagaimana yang telah dicoba di Sonora, Mexico, dan Los Banos, Filipina.
Hal itulah yang menjadi latar belakang berdirinya LP3 Cabang Sukamandi. Dibutuhkan sekitar 8 tahun untuk membangun dan meleng­kapi semua kebutuhan fisik (kantor, laboratorium, lahan per­cobaan) dan organisasional (staf) sebelum akhirnya lembaga ini dires­mi­kan oleh Presiden Suharto, 10 Agustus 1980.
Dengan peresmian ini, LP3 berganti nama menjadi Balittan Sukamandi (Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi). Pada tahun 1994 nama ini berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), seiring dengan perubahan fungsi lembaga ini yang hanya mengkhususkan diri pada penelitian tanaman padi, bukan lagi tanaman pangan secara keseluruhan. Pada 1 Maret 2006, lembaga ini berubah lagi menjadi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, atau lebih dikenal dengan sebutan pendek BB Padi. Perubahan dari Balai Penelitian ke Balai Besar Penelitian berdampak pada kenaikan status lembaga ini, dari eselon IIIa menjadi IIa, dengan wewenang dan posisi yang lebih kuat. •

Merauke Berharap pada Padi SRI Organik

MERAUKE, KCM - Mulai tahun ini para petani di Merauke akan mencoba menanam jenis padi organik. Pemerintah Kabupaten Merauke berharap dapat meningkatkan produktivitas lahan dari hasil pertanian.
Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze mengatakan jenis padi yang ditanam petani di Merauke sekarang sudah terlalu tua dan hanya dapat dipanen setahun sekali. "Mungkin sudah turunan ke 200," katanya sambil bercanda usai melakukan gerakan penghijauan dan penanaman pertama padi organik di Merauke, Senin (26/11).
Selain untuk peremajaan bibit, padi organik diharapkan dapat menghasilkan produksi lebih tinggi seperti yang sudah dipraktikkan di berbagai daerah. Saat ini, satu hektar lahan di Merauke hanya menghasilkan 4 hingga 5 ton gabah kering setiap tahun.
Bekerja sama dengan Medco Foundation, Pemkab Merauke memperkenalkan metode budidaya tanaman padi yang disebut System of Rice Intensification (SRI) Organik. Metode yang dikembangkan Yayasan Aliksa dan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dapat menghasilkan antara 8-12 ton gabah kering panen setiap tahun.
SRI Organik sudah dicoba sekira 10.000 petani di 13 provinsi di jawa, bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Total luas lahan yang telah ditanam mencapai 6.000 hektar.
Potensi budidaya padi SRI Organik di Jawa tidak terlalu besar karena luas lahan sudah tidak sebanding dengan jumlah penggarap. Sebaliknya di Merauke potensinya masih sangat besar," ujar Chairman Medco Foundation Arifin Panigoro. Dari 1,9 juta hektar lahan kosong baru 23.000 yang dimanfaatkan.